Dugaan manipulasi laporan keuangan senilai USD $600 juta (sekitar Rp9,7 triliun) oleh eFishery yang pernah menyandang status unicorn di Indonesia. Menjadi sinyal bahaya bagi dunia usaha, termasuk sektor perbankan syariah. Kasus ini menunjukkan bagaimana lemahnya pengawasan dan penting nya peran komisaris dan direksi dapat membuka ruang bagi praktik fraud, yang tidak hanya melanggar prinsip Good Corporate Governance (GCG), tetapi juga berpotensi masuk ke ranah pidana.
Dalam konteks hukum, eFishery diduga melakukan praktik seperti window dressing demi menarik investor dan menjaga valuasi tetap tinggi hal ini dapat terindikasi pemalsuan laporan keuangan dapat dijerat dengan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, serta Pasal 3 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Jika terbukti ada unsur kesengajaan untuk menyesatkan investor atau pemegang kepentingan, maka tidak hanya direksi, tetapi juga komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
Prinsip transparansi dan akuntabilitas yang menjadi kunci dalam Menyusun laporan keuangan agar sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku. Praktik kecurangan ini mencerminkan lemahnya pengawasan komisaris. Sebagai organ utama dalam tata kelola perusahaan, komisaris seharusnya melakukan pemeriksaan secara menyeluruh serta memberikan arahan kepada direksi jika terindikasi adanya penyimpangan. Komisaris wajib mengidentifikasi dan merespons setiap potensi kerugian, terlebih jika ada unsur tindak pidana seperti penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP. Dalam situasi seperti ini, deteksi dini dan pelaporan kepada pemegang saham menjadi tanggungjawab mutlak.
Posisi hukum komisaris bukan sekadar formalitas. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 114 ayat (3) Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT). Artinya, tanggung jawab hukum komisaris dan direksi dalam menanggung kerugian perusahaan berada pada Tingkat yang sama.
Setidaknya ada tiga aspek utama yang harus dijamin oleh direksi dan komisaris. Profesionalisme, kompetensi, dan integritas harus menjadi faktor utama dalam proses seleksi, terutama bagi dewan komisaris. Tanpa itu, pengawasan hanya akan menjadi formalitas belaka. Kasus eFishery memaksa dunia usaha untuk berpikir lebih dalam tentang cara menutup celah kerugian dan mencegah fraud agar tidak terjadi lagi.
Pelajaran bagi BPRS: Risiko Tata Kelola yang Lemah
BPRS sebagai lembaga keuangan berbasis kepercayaan harus menjadikan kasus ini sebagai refleksi. POJK Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola bagi BPR dan BPRS secara tegas mengatur bahwa:
1. Direksi dan Komisaris Bertanggung Jawab atas Integritas Pelaporan Keuangan POJK 9/2024 Pasal 2 ayat (2) menekankan bahwa prinsip keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran wajib diterapkan di seluruh tingkatan organisasi BPRS. Jika direksi dan komisaris lalai dalam memastikan transparansi keuangan, mereka dapat dikenai sanksi administratif hingga penghentian operasional sementara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 POJK 9/2024.
2. Penguatan Fungsi Pengawasan oleh Komisaris dan DPSDalam BPRS, Komisaris dibantu Dewan Pengawas Syariah (DPS) untuk lebih dari sekadar kepatuhan terhadap prinsip syariah. Mereka juga harus memastikan bahwa pengelolaan dana sesuai dengan regulasi dan standar akuntansi syariah. Pasal 44 POJK 9/2024 juga menegaskan bahwa Dewan Komisaris wajib mengawasi tata kelola dan memastikan direksi tidak menyimpang dari prinsip kehati-hatian.
3. Penerapan Manajemen Risiko dan Pencegahan Fraud.
Pasal 22 ayat (1) POJK 9/2024 mewajibkan BPRS untuk memiliki unit manajemen risiko dan kepatuhan, yang bertugas mencegah penyimpangan seperti yang terjadi pada eFishery. Jika BPRS gagal menerapkan manajemen risiko yang efektif, maka dapat dikenai sanksi berupa denda hingga Rp100 juta, serta pembatasan ekspansi usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (4) POJK 9/2024.
Apa yang Harus Dilakukan BPRS?
✅ Membangun Sistem Pengendalian Internal yang KetatPengawasan terhadap laporan keuangan harus dilakukan oleh unit yang independen, dengan audit berkala dan sistem pengawasan yang ketat.
✅ Menempatkan SDM yang Berkompeten Komisaris dan direksi tidak boleh hanya menjadi simbol formalitas. Mereka harus memahami akuntansi forensik dan memiliki pemahaman yang kuat terhadap regulasi keuangan syariah.
✅ Memperkuat Budaya Transparansi dan Akuntabilitas Pelaporan keuangan tidak boleh hanya sekadar formalitas kepada pemegang saham atau regulator, tetapi harus mencerminkan kondisi keuangan yang sesungguhnya.
Kasus eFishery adalah pengingat bahwa tata kelola yang lemah dapat menghancurkan perusahaan dalam sekejap. BPRS, yang berbasis kepercayaan dan prinsip syariah, harus mengambil pelajaran serius agar tidak terjebak dalam krisis serupa.
Refleksi: Sistem atau SDM? Lantas apakah dalam kasus yang telah dijabarkan kelemahan ada pada sistem pengawasan, ataukah pada individu yang menjalankannya? Sistem yang baik tetap bisa gagal jika dijalankan oleh orang yang tidak berintegritas.
Maka, penguatan tata kelola di BPRS tidak boleh hanya berhenti di regulasi, tetapi harus ditanamkan dalam budaya organisasi.
Disisi lain sejalan dengan itu semua, Salah satu BPRS yaitu BPRS Attaqwa berdomisili di Kab upaten Tangerang yang telah terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan berdiri sejak 1994 mampu dan telah menerapkan Tata kelola BPRS sejalan dengan POJK No.24 /POJK.03/2018 dan SEOJK 9 /SEOJK.03/2022, Pada 2025 ini dengan Komponen:
a. Profil Risiko Peringkat :1,50
b. Tata Kelola Peringkat :1,09
Sehingga nilai Komposit secara keseluruhan sebesar 2,59 (Sehat) hal ini tercermin telah berjalannya segala Fungsi, baik pengawasan Aktif Komisaris dan Direksi, berjalannya Kebijakan dan Prosedur, penerapan Fungsi kepatuhan, manajemen risiko audit internal maupun eksternal
Ditulis dan dikembangkan oleh: HAFIZ NOVREGY BERLIAN Pejabat Eksekutif Manajemen Risiko dan Kepatuhan BPRS Attaqwa